Blog oleh Moh. Faishol Khusni, MICRA Manager Wilayah Jawa Timur & Jawa Tengah.
Pada bagian kedua blog kita tentang Reformasi Koperasi Indonesia, kita akan membahas dua dimensi paradigma koperasi membangun. Dalam konteks paradigma koperasi membangun, ada dua dimensi yang perlu ditegaskan, pertama dimensi makro dimana koperasi sebagai asas dan pola tindak negara dalam membangun kesejahtraan sosial ekonomi bangsa, kedua secara mikro yaitu koperasi sebagai aktor badan usaha rakyat yang diperlakukan sejajar dengan badan usaha lainnya.
Dimensi Makro
Dalam paradigma koperasi membangun secara makro adalah paradigma pembangunan dan pengeloaan bangsa berasaskan kekeluargaan, dimana negara menjadikan rakyat/masyarakat benar-benar sebagai pemilik dan fokus utama dalam pembangunan bangsa. Sehingga bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai benar-benar dikonversi untuk menyejahterakan rakyat.
Rakyat sebagai pemilik bangsa ini, negara wajib memberikan hak kepada rakyatnya untuk menyampaikan aspirasi pembangunan bangsa, terlibat aktif dalam pembangunan bangsa, dan penikmat utama hasil pembangunan bangsa. Dalam bahasa yang lebih mudah adalah dari, oleh dan untuk bangsa. Seluruh kekayaan bangsa, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah milik rakyat bukan milik oligarki.
Paradigma ini memberikan ruang dan iklim yang samayang sama dalam membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi rakyat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya dengan memberikan akses yang terbuka lebar agar masyarakat:
Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya.
Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Dimensi Mikro
Selanjutnya paradigma koperasi membangun secara mikro, adalah koperasi sebagai badan usaha yang diakui negara dapat berperan besar pengelolaan sumberdaya bangsa. Badan usaha koperasi harus menjadi aktor pelaku ekonomi bagi anggotanya maupun masyarakat secara umum.
Strategi “Membangun Koperasi sebagai badan usaha” yang dilakukan pemerintah atau gerakan koperasi selama ini ternyata tidak menjadikan koperasi semakin kuat tetapi bisa jadi koperasi semakin lemah dan ketergantungan. Terminologi “membangun koperasi” tidak ubahnya meletakkan koperasi sebagai “Obyek” pasif yang dibentuk oleh si subyek, alih alih ia akan menjadi aktor ia justru menjadi korban dari sebuah intervensi politik, regulasi dan kepentingan yang ujungnya justru melemahkan koperasi. Untuk itu paradigma “membangun koperasi” harus diubah menjadi “koperasi membangun.” Dengan demikian, koperasi itu adalah aktornya itu sendiri dan biarkan ia tumbuh berkembang dengan kemampuannya.
Koperasi membangun bukan berarti koperasi tidak membutuhkan pihak lain, tetapi biarkan ia seperti anak ayam yang menetas dari cangkangnya sendiri sehingga ia benar benar menjadi anak ayam sejati, karena jika dipaksa menetas apalagi dipecahkan dari dari luar, maka pasti tidak akan jadi anak ayam tetapi menjadi telur ceplok/telur dadar. Dari analogi ini, Prof. JG. Nirbito memberikan rambu-rambu pembinaan koperasi yang tepat, di mana dalam membina koperasi janganlah lepas tangan yang berarti tidak peduli dan acuh tak acuh, jangan pula campur tangan terlalu banyak mengintervensi dengan instrumen regulasi apalagi kepentingan politik dan anggaran, tetapi mari saling mengulurkan tangan untuk bergandengan tangan sebagai mitra yang saling mendukung.
Dengan bergandengan tangan bahwa sejatinya koperasi adalah bekerjasama, sama sama bekerja, saling gotong royong memperkuat agar semua anggota dan masyarakat sukses bersama melalui koperasi. Semangat brotherhood yang menjadi nyawa sebuah koperasi harus dijaga dengan baik, Inilah semangat yang menjadi Ide dasar dan idealisme koperasi modern mengapa ia begitu kuat dalam melawan penjajahan, ketidakadilan dan ketidakberdayaan karena broterhood_isme menjadi spirit yang tidak akan pernah padam.
Dalam konteks inilah pola pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai regulator maupun Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah tunggal gerakan koperasi harus mulai berpikir membantu koperasi tidak hanya dengan dana program, pelatihan, fasilitasi usaha saja, apalagi acara seremonial tetapi membantu koperasi menegakkan jati dirinya dan idealismenya, bukan justru menjadikan koperasi terasa selalu lapar dengan bantuan.
Di sisi yang lain, gerakan koperasi sendiri tidak boleh menyerahkan membangun koperasi kepada pemerintah. Koperasi membangun diletakkan kepada kemampuan self-help dan jati diri koperasi yang kokoh. Karena tidak ada koperasi besar dengan sejati jika tidak bertumpu pada pondasi jati dirinya. Jati diri koperasi adalah kunci sekaligus marwah koperasi yang tidak boleh digadaikan karena alasan apapun.
Dengan jati diri yang kokoh, fungsi Koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan media pembinaan masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangsa Indonesia.
Comments